Kritik dan Esai Sastra - Cerpen Burung Gagak di atas Orchard Road

Kelebihan dan Kekurangan Cerpen

Kelebihan dalam cerpen yang pertama adalah ceritanya bagus, dari awal hingga akhir pembaca seakan larut dalam cerita karena selalu dibuat penasaran seolah kejadian yang ada di cerita tersebut dialaminya. Dengan alur maju mundur atau campuran, pengarang seakan mengajak pembaca untuk bereksplorasi dan berpikir kembali dengan mengaitkan kejadian-kejadian di setiap paragraf.
            Kelebihan yang lainnya adalah, bahasa yang digunakan pengarang bagus, lugas dan jelas sehingga mudah dimengerti oleh pembaca. Dan sepengetahuan saya pengarang adalah seorang cerpenis yang sudah malah melintang selama puluhan tahun dengan sederet karya yang mengundang dercak kagum, salah satunya adalah kumpulan cerpen dalam judul “Asap Rokok Di Jilbab Santi”.
Kekurangan pertama, di dalam isi cerpen tidak disebutkan nama tokoh utama, yakni yang berperan sebagai pembunuh bayaran, serta tidak dijelaskan pula motif pelaku dalam menjalankan tugas yang bergaji besar tersebut. Mungkin hal tersebut sengaja dilakukan oleh pengarang karena pengarang tidak ingin salah paham terjadi apabila sebuah nama baik pelaku utama maupun pihak terkait.
Hal lain yang membuat pembaca sempat bertanya adalah, untuk apa dan dengan tujuan apa seseorang yang juga tak disebutkan namanya berani membayar seseorang guna membunuh orang lain, entah karena balas dendam, bisnis, ataupun kekuasaan. Karena dalam cerita sempat dijelaskan korban pembunuhan bekerja di instansi pemerintah. Dan juga kalaupun seorang berani dibayar untuk melakukan tindak kejahatan dan disebut pembunuh kelas kakap, harusnya ia bekerja sendirian, karena dengan begitu ia bisa lebih mudah losos dan tanpa meninggalkan jejak, karena kita tahu tidak semua orang mau diajak bekerja sama dalam hal kejahatan kelas atas apalagi partner tersebut belum pernah melakukannya sekalipun, ini sama halnya tidak profesional.
            Dan yang terakhir, jenis cerita seperti ini sudah umum dan sering dibaca oleh semua pihak, bahkan anak-anak yang gemar nonton film detektif dan superhero juga tak akan kaget dan kemungkinan besar mereka sudah bisa paham jalan cerita walaupun membaca cerita ini sekali.

Kritik dan Esai Sastra - Cerpen Kembali Makan Gaplek karya Shoim Anwar

Begitu banyak macam realitas kehidupan yang tertoreh dalam bentuk karya sastra. Ketika menemukan peristiwa yang memilukan, pengalaman yang menggelitik, kejadian nan unik atau eksentrik, dan hal-hal baru yang menggigit, pengarang mengeksplorasi semuanya itu dalam bentuk karya sastra.
Cerpen Kembali Makan Gaplek merupakan hasil karya sastra yang mengabstraksikan realitas kehidupan masyarakat. Soim Anwar sebagai pengarang cerpen ini menggugah pembaca dengan menampilkan problema di tengah masyarakat desa yang dulunya makmur menjadi melarat karena mengalami kerugian dan kelaparan ketika lahan mereka digusur dan semua tanaman cengkeh mereka ditebangi. Hal itu dapat tergambar dalam kutipan berikut.

 “Padahal, desa ini dulu sangat rindang dan sejuk. Aneh, di mana-mana dianjurkan untuk menanam pohon, namun pohon cengkeh yang ditanam dengan ongkos sangat mahal malah disuruh menebang.......(Shoim Anwar, 2009: 170)”

            Dari kutipan dijelaskan bagaimana penderitaan yang dialami petani cengkeh waktu itu, sejak penebangan yang kian hari semakin gencar dilakukan membuat harga cengkeh anjlok, dan yang lebih mengenaskan hal itu membuat produktivitas petani semakin menurun, para petani yang tiap harinya mampu mencukupi kehidupan dengan membeli beras dari hasil cengkeh yang dijual kini sudah tidak bisa lagi.
            Cengkeh adalah tanaman asli Indonesia, banyak digunakan sebagai bumbu masakan pedas di negara-negara Eropa, dan sebagai bahan utama rokok kretek khas Indonesia. Sebelum ditebang nilai jual harga cengkeh cukup tinggi. Hal itu yang membuat para petani di desa ini berusaha dengan berbagai cara agar tanaman cengkeh mereka dapat terjaga dari para penebang, seperti yang dilakukan Turno pada kutipan berikut.
           
                        “Handoyo, kau jangan merusak tanamanku!” aku menyentaknya.
“Aku melakukan ini atas nama KUD,” katanya. “Ini perintah Pak Lurah!”
“Bilang sama Pak Lurah kalau tidak boleh. KUD mestinya harus menciptakan kesejahteraan warga, tidak malah menjadi makelar yang tidak berpihak pada rakyat. KUD kau jadikan perpanjangan tangan para cukong. Betapa rendah KUD!”
“Ini program BPPC dari pemerintah pusat”
“Siapa yang di pusat”
”Bapak presiden!”
“Kami tak pernah diberinya makan! Kini malah mau merebut makanan kami! .......(Shoim Anwar, 2009: 171)”

            Dari kutipan dijelaskan upaya Turno untuk mempertahankan tanaman cengkeh miliknya, betapa tidak itu adalah bibit tanaman cengkeh yang tersisa dari kesekian tanaman cengkeh yang telah ditebang dengan paksa hanya demi memenuhi perintah dari program pemerintah yang justru menyengsarakan penduduk desa sekitar.
Keperdulian seorang petani cengkeh seperti Turno  terhadap petani cengkeh di desa itu perlu memperoleh apresiasi, karena secara nyata tidak hanya meraih keuntungan belaka. Namun juga memberikan sebagian keperdulian dari perjuangan para petani cengkeh waktu itu. Dari kesekian penduduk desa, hanya Turno lah yang berani melawan akan penebangan tanaman cengkeh secara paksa, sementara penduduk lain hanya pasrah melihat tanaman dan lahan mereka digusur, seperti kutipan berikut.

   “Orang-orang itu ikut transmigrasi karena putus asa, di sini sudah tak ada lagi yang diandalkan. Tiga puluh keluarga sudah berangkat ke luar Jawa. Yang lain akan menyusul. Saya yakin pelarian itu bukan jalan terbaik. Kita harus tetap di sini.......(Shoim Anwar, 2009: 168)”

            Dari kutipan di atas dijelaskan bagaimana sulitnya mencari lahan yang bisa digunakan untuk tempat tinggal dan bekerja, penyelenggaraan program transmigrasi semasa pemerintah Orde Lama maupun zaman Orde Baru semata-mata hanya sebagai upaya pemerataan penyebaran penduduk. Jauh dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kawasan transmigrasi disediakan alakadarnya dengan fasilitas dan prasarana yang jauh memadai, jauh di tengah belantara dengan infrastruktur dan transportasi yang sangat minim. Hal itulah yang membuat Turno urung mengikuti jejak para penduduk desa untuk berangkat transmigrasi ke Kalimantan, Truno memilih untuk tetap tinggal di desa yang telah membesarkannya dari hasil tanaman cengkeh yang didapat. Seperti dalam kutipan berikut.
           
   “Maaf, Pak, saya Cuma mengatakan bahwa transmigrasi bukan jalan keluar yang terbaik. Kita mesti membangun ekonomi desa ini dari nol lagi, Pak. Bukan malah keluar Jawa. Kami sudah dua kali jadi korban, Pak. .......(Shoim Anwar, 2009: 174)”

            Dari kutipan berikut dijelaskan bagaimana apa yang telah dijelaskan Turno kepada Kepala Desa patut kita acungi jempol, Saatnya bagi pemerintah merevisi ulang program transmigrasi. Penerapan program re-focusing dapat dipertajam tidak hanya meningkatkan kualitas pemukiman yang dititikberatkan pada peningkatan sarana dan prasarana transportasi, penerangan dan perekonomian masyarakat.
Tetapi lebih dari pada itu, pemerintah dapat mendorong, menstimulasi, memfasilitasi para transmigran sehingga mampu menjadi pelaku usaha yang mumpuni disektor pertanian, perkebunan atau peternakan. Dengan kata lain menjadi transmigran yang juga entrepreneur (transpreneur).
Dari kesekian kalinya Turno menjelaskan, tak ada satupun pernyataan yang diterima oleh Kepala Desa, bahkan Turno pun dituduh telah melanggar hukum karena atas perbuatannya menanam cengkeh dan menghambat berjalannya program pemerintah. Sebagai rakyat miskin biasa, tak ada yang bisa dilakukannya kecuali menurut apa kata atasan.
Semoga apa yang jadi harapan Turno di atas dapat didengar aspirasinya dan bermanfaat untuk para petani cengkeh saat itu sehingga rakyat khususnya yang kesehariannya bergantung pada hasil cengkeh bisa sejahtera di masa mendatang, semoga.

Kritik dan Esai Sastra - Cerpen Kyai Jogoloyo karya Shoim Anwar

Karya sastra merupakan potret kehidupan yang menyangkut masalah sosial, politik dalam masyarakat. Persoalan tersebut merupakan tanggapan sastrawan terhadap fenomena sosial beserta kompleksitas permasalahan yang ada di sekitarnya.
            Sebagai sebuah renungan, cerpen Kiai Jogoloyo Karya M. Shoim Anwar mengupas tema ulama yang berpolitik menggambarkan bahwa pilitik dan sastra seakan sudah seperti saudara yang selalu bersama dalam menjalankan kehidupan.
            Ulama adalah orang-orang yang meyakini, membenarkan dan mengamalkan kitab suci melalui ilmu pengetahuan serta menyebarkan kepada masyarakat tanpa pamrih itulah sebabnya ulama sangat dihormati oleh masyarakat. Terlihat pada kutipan berikut.
“Di seberang sungai, orang-orang sudah bersiap menyambut kedatangan sang Kiai. Mereka sudah berbaris sejak satu jam yang lalu. Kabar akan kedatangan Kiai Jogoloyo memang sudah tersiar jauh hari. Maka seluruh jalan kampung yang akan dilalui sang Kiai dibersihkan, pagar-pagar dicat dan bunga-bunga dalam pot dijajar sepanjang jalan. .......(Shoim Anwar, 2009: 210)”

Kutipan di atas menggambarkan bahwa penulis menghormati keberadaan ulama, namun sudah sejak lama ada semacam pemahaman bahkan keyakinan, bahwa ulama harus tetap steril atau jauh dari politik. Seperti tergambar pada kutipan berikut.
“Seharusnya memang begitu,”lurah Harmono menimpali.
“Tapi ini perkaranya lain,” sahut Modin Mudlofar.
“lain gimana,” tarik Kasnadi memotong.
“Kiai Jogoloyo akan hadir.”
Lurah dan Carik terperanjat seperti tak percaya dengan kata-kata yang baru didengar. .......(Shoim Anwar, 2009: 211)”

Dari kutipan di atas menggambarkan bahwa penulis seakan-akan berkeyakinan ulama harus tetap konsisten untuk bergerak dalam tataran pendidikan. Tidak perlu bahkan tidak seharusnya ikut-ikutan berpolitik apalagi sekadar dalam pertarungan perebutan kekuasaaan.
            Ketika ulama secara pribadi mulai bersentuhan dengan ranah politik, tentunya bukan berita yang mengecawakan, sebab bagaimanapun politik sebetulnya adalah bagian dari Islam. Bukankah Nabi Muhammad S.A.W. adalah seorang politisi?
            Sebagaimana dicatat oleh para ulama dan sejarahwan, selama hidupnya di Madinah Rosulullah S.A.W. sekaligus juga kepala negara. Para sabahatnya yang terdekat Abu Bakar Ash-Shidiq, Ali bin Abi Thalib, semuanya pernah menjabat sebagai khalifah yang terkenal dengan sebutan Khilafaur Rasyidin.
            Namun, di sisi lain, terdapat ulama yang dalam menjalankan aktivitas politiknya tidak jarang mengabaikan nilai-nilai Islam. Itulah yang tergambar pada cerpen Kiai Jogoloyo ini. Penulis menggambarkan sisi yang berbeda. Ulama berpolitik bukan dilandasi syariat Islam, tetapi lebih diniatkan untuk mencapai kepentingan sesaat, sehingga pada akhir cerita, tertulis.
                           “Esok paginya, di halaman depan koran tertulis judul berita utama: Politikus Partai Kecemplung Kali. .......(Shoim Anwar, 2009: 218)”

            Dari uraian di atas, kiranya kita tidak meruncingkan pertentangan ulama yang berpolitik. Sering dikatakan bahwa politisi adalah “profesi kotor” dan Kiai adalah “profesi putih”. Amat kontras. Masalahnya ialah apakah yang putih akan bisa membersihkan yang kotor atau sebaliknya? Atau lebih banyak mana bidang putihnya ketimbang bidang hitam? Mempertimbangkan pertanyaan di atas, yang ideal memang Kiai tidak berpolitik praktis, atau sedikit yang terlibat akan lebih baik.

Kritik dan Esai Sastra - Cerpen Paket Mayat karya Shoim Anwar

Begitu banyak macam realitas kehidupan yang tertoreh dalam bentuk karya sastra. Ketika menemukan peristiwa yang memilukan, pengalaman yang menggelitik, kejadian nan unik atau eksentrik, dan hal-hal baru yang menggigit, pengarang mengeksplorasi semuanya itu dalam bentuk karya sastra.
Cerpen Paket Mayat merupakan hasil karya sastra yang mengabstraksikan realitas kehidupan masyarakat. Soim Anwar sebagai pengarang cerpen ini menggugah pembaca dengan menampilkan problema kehidupan seorang pria yang bernama Suparjan, berpredikat sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang bekerja di Malaysia, akan tetapi karena keberangkatannya tanpa melalui prosedur yang benar, hanya berbekal Paspor atau bahkan Tanpa Paspor sama sekali  alias masuk ke negara lain secara gelap Suparjan termasuk TKI ilegal.
Menjadi TKI illegal besar sekali resikonya. Sejak masih di rumah, resiko itu sudah biasa terjadi. Apalagi di sepanjang perjalanan dan di negara tempatnya bekerja. Resiko-resiko yang biasa terjadi antara lain ditangkap, dianiaya, hingga dibunuh. Hal itu dapat tergambar dalam kutipan berikut.

Tahu-tahu Suparjan sudah berada di luar Negeri dan meneleponku.
Aku kaget
“Aku ditangkap Polisi,” katanya
“Di mana?”
“Kuantan.”
“Terus?”
“Minta tebusan. Kakak disuruh ke sini, nanti bisa dilepas.”
“Kamu ngomong kalau punya saudara di sini?”
“Ya.”
“Makanya........(Shoim Anwar, 2009: 150)”

            Dari kutipan di atas dijelaskan bagaimana besarnya resiko menjadi TKI ilegal, hanya berbekal tekad tanpa dilengkapi surat resmi ijin kerja dari dalam Negeri mereka akan menjadi sasaran empuk polisi di sana yang sedang beroperasi, terlebih Malaysia telah meningkatkan keamanannya di wilayah perairan akhir-akhir ini. Kita tahu bahwa administrasi menjadi TKI sangat rumit karena melibatkan dua negara, modal yang dibutuhkan juga tak sedikit. Disinilah para oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan hal ini.
Resiko lain yang akan dihadapi sebagai seorang TKI adalah penipuan, mulai dari administrasi, pekerjaan, hingga gaji bulanan. Seperti kutipan berikut.

“Proyek hanya memberinya makan. Pengawas kerja yang mempekejakannya menghilang saat gajian. Taute, sang pemilik proyek, selalu mengatakan bahwa dia sudah membayar uang para pekerja lewat bagian administrasi alias kerani. Sementara kerani mengatakan bahwa uang itu sudah diserahkan kepada pengawas kerja. Atau mereka memang bersekongkol? .......(Shoim Anwar, 2009: 152)”

            Dari kutipan di atas dijelaskan bagaimana nasib Suparjan menjadi korban penipuan oleh pemilik proyek ketika sudah menjadi TKI dan bekerja di Negera Malaysia. Suparjan yang setiap harinya bekerja sebagai kuli di sebuah poyek bangunan mendapat perlakuan tidak adil meskipun oleh sesama temannya sendiri yang berasal dari negara tempat tinggal mereka. Namun apa boleh buat demi mengharap uang dan sesuap nasi semua itu dikerjakaanya sepenuh hati.
Selain apa yang di dialami Suparjan masih banyak sekali kisah tragis para TKI ilegal yang sudah menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan, beberapa dari mereka ada yang dipaksa bekerja kordi tanpa henti, dianiaya, ditelantarkan, diperkosa, hingga dibunuh. Seperti kutipan berikut.
“Hati-hatilah kalau kerja. Apalagi di Negeri orang.”
“jenazah para korban itu dimakamkan di mana?”
tanya Suparjan.
“Ada yang dibawa pulang. Ada juga yang di sini. Yang susah kan kalau korbannya pekerja liar. Tak ada yang ngurus.......(Shoim Anwar, 2009: 154)”

            Dari kutipan di atas dijelaskan bagaimana nasib TKI ilegal di luar Negeri yang selalu direndahkan, ditambah aturan hukum yang tinggi dan polisi yang dikenal beringas dengan biasa menelantarkan mereka bahkan tak segan-segan membunuh dengan cara kejam. Sementara di dalam Negeri sendiri pemerintah seakan-akan hanya ngedumel, pemerintah Indonesia dalam setiap penanganan kasus seperti ini hanya bisa protes, mengecam dan prihatin, setelah itu habislah perkara. Seperti yang sudah-sudah kasus itulah fakta.
            Profesi sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau sebutan bagi orang indonesia yang bekerja di luar Negeri bukanlah profesi yang didambakan setiap orang. Bahkan banyak yang memandang negatif kepada mereka. Tetapi dilihat dari jumlah TKI yang bekerja di luar negara saat ini jelas menunjukan bahwa profesi sebagai TKI masih sangat diminati sebagian rakyat indonesia yang berfikiran maju tetapi tidak mendapatkan kesempatan bekerja di negara sendiri.            Mendapatkan gaji besar, tuntutan ekonomi, impian membangun rumah sendiri, serta pendidikan tinggi menjadi alasan bagi sebagian orang menjadi TKI. Seperti tergambar dalam kutipan berikut.

                        “Dulu katanya istrimu melarang ke sini?”
                        “Gimana lagi? Di rumah nggak ada pekerjaan. Sawah sudah dijual.”
                        “Untuk apa?”
“Ya untuk sangu berangkat saya ke sini ini......(Shoim Anwar, 2009: 152)”

            Dari kutipan di atas dijelaskan bagaimana faktor ekonomi lah yang membuat Suparjan nekad pergi ke luar Negeri untuk menjadi TKI. Namun meskipun menjadi TKI bukan keinginan melainkan piliihan mereka, tetap saja para TKI seperti Suparjan menjadi aset dan omset yang besar bagi Negara ini, TKi memang tidak bisa dihentikan karena di Negara mereka sendiri belum tentu mereka bisa mendapatkan penghasilan dengan skill dan kemampuan yang pas-pasan itu, namun hendaknya, Indonesia membuka lowongan pekerjaan untuk mereka-mereka yang merasa terhimpit dalam perekonomian dan sedikit mengurangi resiko bagi mereka yang telah menjadi TKI.

Kritik dan Esai Sastra Sajak Palsu karya Agus R. Sarjono

DRAMATURGI DARI BANGKU SEKOLAH
.....HINGGA ISTANA NEGARA

Begitu banyak macam realitas kehidupan yang tertoreh dalam bentuk karya sastra. Ketika menemukan peristiwa yang memilukan, pengalaman yang menggelitik, kejadian nan unik atau eksentrik, dan hal-hal baru yang menggigit, pengarang mengeksplorasi semuanya itu dalam bentuk karya sastra.
Sajak atau puisi merupakan suatu imajinasi yang diungkapakan oleh pengarangnya. Bagaimana seseorang tersebut menggambarkan suatu kejadian, bagaimana seseorang tersebut mengungkapkan segala isi hatinya, bagaimana seseorang tersebut melukiskan sosok dirinya, dan sebagainya.
Karya sastra sajak atau puisi adalah satu dari sekian banyak karya sastra yang cukup menarik untuk dipelajari. Di dalam karya sastra puisi terdapat unsur – unsur yang harus dipelajari dan dipahami, yaitu unsur intrisik dan ekstrinsik.
Sebagai contoh, Sajak Palsu karya Agus R. Sarjono. Bagaimana penyair ini memotret kehidupan masyarakat bangsa ini yang penuh kepura-puraan dan kepalsuan. Bahwa kehidupan seperti itu setiap saat kita saksikan, lalu siapa yang mereflesikan peristiwa itu ke dalam sebuah puisi yang lalu diberi judul “Sajak Palsu”? gagasan kehidupan yang penuh kepalsuan dan kemudian mengungkapkannya lewat puisi dengan penyajian yang ringan, terkesan berseloroh, tetapi justru mengangkat sebuah persoalan besar yang menyangkut kehidupan bangsa. Dalam hal inilah “Sajak Palsu” memperlihatkan orisinalitasnya yang khas dari gagasan penyairnya.
Perhatikan kutipan larik puisi berikut.
 “Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka  menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu.”

Dari kutipan di atas dijelaskan bagaimana kepalsuan dan kepura-puraan terbentuk dalam konsep Dramaturgi, di mana setiap peran yang disebutkan di atas, yaitu guru di sekolah, ekonom, ahli hukum, petani, insinyur, seniman, ilmuan dan panglima palsu. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep Dramaturgis, manusia akan menggambarkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut.
Perhatikan kutipan larik puisi berikut.
 “Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru.”

Dari kutipan di atas dijelaskan bagaimana konsep Dramaturgi terbentuk antara Guru dan Orang tua murid. Pada saat di kelas, seorang guru berperan sebagai pengajar dan pendidik. Mereka memberi berbagai peraturan dan tugas di kelas. Mereka melakukan tugas di kelas sesuai dengan peran mereka sebagai pengajar. Namun di luar perannya tersebut, mereka berperilaku seperti orang lain yang tidak memiliki peran sebagai pengajar. Layaknya seorang aktor dan aktris, jika berada di depan panggung (front stage), mereka harus memiliki kemampuan untuk menjadi orang lain atau sebuah karakter yang berbeda. Sedangakan back stage ini merupakan karakter asli dari diri mereka yang tidak bisa mereka sembunyikan.
Perhatikan beberapa larik terakhir puisi berikut.
“Lalu orang-orang palsu / meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan / gagasan-gagasan palsu di tengah seminar / dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya / demokrasi / demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring / dan palsu.”

            Dari kutipan di atas dijelaskan bagaimana “Sajak Palsu” karya Agus R. Sarjono merupakan kerya yang berhasil. Puisi tersebut mengangkat potret sosial. Dengan gaya penyajian seperti itu, Agus seolah menertawakan kehidupan sosial kita yang serba palsu dan penuh kepura-puraan. Mengingat potret sosial itu disajikan secara berseloroh, apa adanya, maka refleksi evaluatifitas peristiwa itu tidak muncul sebagai keprihatikan yang dapat merangsang emosi pembacanya.
....

SAJAK PALSU
Agus R. Sarjono

Sajak Palsu
Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu.Di  akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka  menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima
palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakatpun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu

(http://agusrsarjono.wordpress.com/2007/02/13/sajak-palsu/).

Kritik dan Esai Sastra - Cerpen Tangisan Anakku karya Shoim Anwar

TIDAK DI NEGERI ANTAH BERANTAH

Begitu banyak macam realitas kehidupan yang tertoreh dalam bentuk karya sastra. Ketika menemukan peristiwa yang memilukan, pengalaman yang menggelitik, kejadian nan unik atau eksentrik, dan hal-hal baru yang menggigit, pengarang mengeksplorasi semuanya itu dalam bentuk karya sastra.
Cerpen Tangisan Anakku merupakan hasil karya sastra yang mengabstraksikan realitas kehidupan masyarakat. Soim Anwar sebagai pengarang cerpen ini menggugah pembaca dengan menampilkan problema kehidupan seorang pria yang bernama Huki, berpredikat sebagai kepala perkantoran yang bekerja di sebuah lembaga instansi negara, akan tetapi karena proses dalam menggapai itu semua dengan jalan yang bisa dibilang curang dan instan maka karir Huki berakhir suram dan pada akhirnya membuat pria dari tiga anak tersebut mengalami gangguan kejiwaan.
Siapapun orangnya setelah menempuh sekian tahun pelajaran di sekolah pasti sangat mendambakan lulus ujian nasional (UN). Banyak usaha dan upaya yang dilakukan agar dapat lulus ujian nasional ini, dari cara-cara yang baik yaitu dengan belajar sungguh-sungguh sampai menggunakan cara yang tidak terpuji seperti membocorkan soal - soal yang akan keluar dalam ujian nasional tersebut. Semua itu dilakukan tidak lain agar dapat lulus dalam ujian nasional, syukur-syukur dapat lulus dengan hasil yang memuaskan.
Sebagai contoh, cerpen Tangisan Anakku karya Shoim Anwar. Bagaimana penyair ini memotret sitem pendidikan di negara ini yang semakin memprihatinkan. Dalam hal inilah “Tangisan Anakku” memperlihatkan orisinalitasnya yang khas dari gagasan penyairnya.



Perhatikan kutipan berikut.
“Huki, kamu kan siswa paling malas. Pingin lulus, kan?” tanya pak Dar, kepala sekolah kami.
“Ya, Pak,” aku mengangguk.
“Nah, perhatikan untuk semuanya. Jangan sampai ketahuan orang luar. Jaga, ya?”
“Bereeees,” kami serentak koor.......(Shoim Anwar, 2009: 102)”

Dari kutipan di atas dijelaskan bagaimana sikap kepala sekolah yang berniat meluluskan semua siswa baik yang pintar dan malas dengan cara curang. Sistem pendidikan saat ini seperti lingkaran setan, jika ada yang mengatakan bahwa tidak perlu UN karena yang mengetahui karakteristik siswa di sekolah adalah guru, pernyataan tersebut betul sekali, namun pada kenyataan dilapangan, sering kali dilihat dari nilai raport yang dimanipulasi, jarang bahkan mungkin tidak ada guru yang tidak memanipulasi nilainya dengan berbagai macam alasan, kasihan siswanya, supaya terlihat guru tersebut berhasil dalam mengajar.
Perhatikan kutipan berikut.
“Soal ujian, yang para pembuatnya harus dikarantina, soal disiman di kantor polisi dan dijaga ketat, pihak sekolah ketika mengambil dan menyetor harus dikawal polisi, ternyata tidak bemakna apa-apa. Aku dapat lulus dengan mudah berkat cara-cara di atas. Aku tak ingin kuliah, tapi aku ingin cari cepat bekerja agar dapat bayaran. Dengan bekal ijazah sekolah atas itulah aku daftar tes pegawai negeri.....(Shoim Anwar, 2009: 103)”

Dari kutipan di atas dijelaskan begitu banyak pilihan yang  bisa dilakukan oleh seorang siswa, terlepas apakah orang tua bisa mengerti ataupun tidak keinginan putra-putirnya. Tidak besekolah memag keputusan yang sangat berat, berbagai macam keberatan akan muncul, bagaimana dengan diskuis, bagaimana dengan penyamaan persepsi terhadap suatu permasalahan, jika tidak bersekolah, bagaimana dapat menemukan lingkungan yang kondusif untuk belajar, atau yang lebih umum, karena bangsa kita adalah bangsa yang gila gengsi dan gelar, bagaimana dengan pekerjaan, jika tidak punya gelar. Poin inilah yang paling menjanjikan, sekolah hanya untuk mencari gelar??.



            Masa sekolah dan perguruan tinggi terlewati dengan mudah, Huki pun lolos tes uji dan diterima sebagai pegawai negeri. Berbekal ijazah yang didapat hanya kurang dari  dua tahun, Huki kini bisa menikmati kariernya sebagai pegawai pemerintah, hari-hari yang dilalui begitu santai, seakan tanpa beban namun gaji terus mengalir.
Perhatikan kutipan berikut.
“Terus terang, prestasi kerja di kantor memang tak ada peningkatan dan hanya rutinitas. Aku mengalami dan merasakan karena aku juga pelakunya. Para personilnya banyak mengantongi gelar baru yang lebih tinggi, tapi ilmu dan sikap mereka tambah merosot kerena gelar itu diperoleh dengan cara instan. Mereka, aku juga, minta jabatab dan tunjangan-tunjangan lebih banyak karena punya gelar baru. Dari uang rakyat, negara harus mengeluarkan biaya lebih banyak lagi bagi birokrat yang modelnya kayak gini. Tapi apa boleh buat. Toh mereka yang di atas juga memberi contoh demikian .....(Shoim Anwar, 2009: 106)””


            Dari kutipan di atas dijelaskan bagaimana aktifitas pegawai negeri yang tiap hari hanya mengobrol dari lorong-lorong ketawa ketiwi, tidak ada beban pekerjaan, sambil menunggu proyek turunan. Cara mencari duit mereka salah satunya dengan menaikkan gelar, perjalanan dinas fiktif, dari sliip atau invoice hotel, tiket pesawat, tiket boarding pass, semua bisa dipalsukan alias kalau perjalanan dinas kalau tidak berangkat malah mendapat duit. Kita bisa lihat di kantor-kantor kelurahan dan kecamatan, pelayanan masyarakat hanya isapan jempol belaka, pukul 10-11 masih pada kosong. Di tempat dinas yang lain, pegawai juga hanya datang absesn langsung pulang dan sore datang lagi untuk absen saja. Jadi untuk apa mereka menjalani itu semua, mengejar prestasi..?? Ironi sekali negara ini.

Kritik dan Esai Sastra - Cerpen “Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya..” karya Shoim Anwar

Menguak Driskiminasi
(Cerpen “Jawa, Cina, Madura nggak masalah.
 Yang penting rasanya..” karya Shoim Anwar)

            Seperti yang kita ketahui, masyarakat Indonesia memiliki beragam suku, ras, budaya dan bahasa. Hal ini bisa menjadi konflik jika kita tidak memiliki sebuah ideologi yang mengedepankan sebuah persatuan di Indonesia. Bersyukur kita memiliki Pancasila sebagai ideologi yang kita pegang teguh dan kita anut.
            Tetapi pada kenyataannya di Indonesia dampak negatif dari beragam agama, ras, budaya, bahasa telah menyebabkan konflik antar kelompok masyarakat. Sebagai contoh pembakaran pasar Glodok (peristiwa Mei kelabu) di Jakarta yang menjadi sasaran kelompok etnis cina. Peristiwa Sambas dan Palangkaraya (pertarungan antara Dayak dan Melayu melawan Madura), Peristiwa Aceh (pertarungan orang Aceh dan transmigrasi Jawa).
 Menguak adanya diskriminasi yang pernah terjadi di Indonesia merupakan tema yang diangkat oleh Shoim Anwar dalam cerpenya yang berjudul “Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya”. Adanya sikap membanding-bandingkan antar suku kerap terjadi dalam pergaulan masyarakat. Diperlihatkan dalam cerpen ini pada kutipan berikut:
“Jangan macam-macam. Kurang apa aku?
“Nggak kurang.”
“Pakai membanding-bandingkan dengan Cina dan Madura segala.”
“Justru harus dibandingkan biar tahu kelebihannya” (Shoim Anwar, 2009:182).

Kisah diskriminasi suku terutama pada etnis cina di Indonesia sudah beredar sejak lama. Sikap anti cina itu muncul karena berbagai stereotip yang digemborkan dan akhirnya menguasai pemikiran masyarakat. Kerusuhan terjadi dengan pengrusakan terhadap toko-toko, hotel, maupun tempat usaha milik orang cina. Ditunjukkan pada kutipan berikut:
            “Gara-gara kerusuhan. Dulu toko orang tuanya besar sekali. Sewaktu ada huru-hara, toko orang-orang Cina di sini dirusak dan dijarah massa. Habis semua (Shoim Anwar, 2009;183).
            Kutipan di atas menunjukkan adanya diskriminasi terhadap entis cina. Disini, diduga bahwa konflik ini pertama-tama terjadi karena kepentingan politik. Setelah kerusahan itu, banyak orang cina yang kehilangan segala-galanya. Mereka kehilangan harapan, harga diri sebagai manusia, dan juga harta mereka. Akhrinya banyak etnis cina yang kemudian lari ke luar negeri. Kejadian ini menimbulkan trauma tersendiri bagi etnis cina, seperti trauma yang dialami tokoh Ko Han yang terlihat pada kutipan berikut:
            “Barangkali karena pengalaman hidup yang pahit, sentimen etnis itu justru dipakai Ko Han untuk melangsungkan kehidupanya. Dia mungkin ingin membalik sentimen itu menjadi simpati” (Shoim Anwar, 2009:184).

            Terjadinya diskriminasi ini merupakan salah satu tantangan dari segenap warga bangsa Indonesia dalam berproses menuju kesejahteraan sosial yang adil berdasarkan Pancasila. Itulah pesan yang tersirat dari cerpen ini. Jawa, Cina, Madura nggak masalah. Yang penting rasanya merupakan gambaran bahwa perbedaan suku dan budaya di negara kita bukanlah suatu hal yang menjadi hambatan untuk kita bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang lain. Dasar negara Indonesia yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 telah memberikan payung hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kondisi masyarakat yang beragam tersebut.

Kritik dan Esai Sastra - Puisi Bersatulah Pelacur Kota Jakarta

Kemerosotan Moral
(Puisi Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta karya W.S. Rendra)

Salah satu karya sastra yang menunjukkan kritik sosial adalah Sajak-sajak Dua Belas Perak Karya W.S. Rendra. Sastrawan ini sangat piawai dalam membacakan sajak serta melakonkan seseorang tokoh dalam dramanya sehingga membuatnya menjadi seorang bintang panggung yang kemudian dijuluki sebagai “Burung Merak”. Rendra juga sering menulis karya sastra yang menyuarakan kehidupan kelas bawah dan berbau protes seperti puisinya yang berjudul Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta dan puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya.
Puisi Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta menggambarkan tentang Kemunafikan para Pemimpin Negeri ini, dimana secara birokrasi mereka melarang suatu kegiatan/aktivitas rakyatnya tetapi dalam realita kehidupan mereka (para pejabat) justru yang paling rakus dan mendapatkan yang paling banyak dalam hal-hal yang merugikan rakyat (korupsi, judi, pelacuran. dll). Seperti dalam bait 6:

Politisi dan pegawai tinggi
Adalah caluk yang rapi
Kongres-kongres dan konferensi
Tak pernah berjalan tanpa kalian
Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’
Lantaran kelaparan yang menakutkan
Kemiskinan yang mengekang
Dan telah lama sia-sia cari kerja
Ijazah sekolah tanpa guna

Puisi ini juga menunjukkan adanya kemerosotan moral. Keadaan yang merendahkan derajat dan nilai kemanusiaan ditandai dengan kemerosotan moral. Kemerosotan moral dapat diketahui dari tingkah laku dan perbuatan manusia yang bejad terutama dari segi kebutuhan seksual. Kebutuhan seksual ini dipenuhinya tanpa menghiraukan ketentuan hukum, agama dan moral masyarakat. Di sini pengarang memprotes perbuatan bejad para pejabat, yang merendahkan derajat wanita dengan mengatakan sebagai inspirasi revolusi, tetapi dijadikan tidak lebih dari pelacur. Perhatiakan kutipan dari sajak berikut:

Sarinah
Katakan kepada mereka
bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri
bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu
tentang perjuangan nusa bangsa
dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
ia sebut kau inspirasi revolusi
sambil ia buka kutangmu

Kritik pada puisi ini mempotret penderitaan manusia. Banyak faktor yang membuat manusia itu menderita. Tetapi yang paling menentukan ialah faktor manusia itu sendiri. Manusialah yang membuat orang menderita akibat nafsu ingin berkuasa, serakah, tidak hati-hati dan sebagainya. Dimana-mana terjadi perang, kelaparan, kecelakaan nuklir, gas beracun, yang menimbulkan banyak korban manusia tak berdosa. Keadaan yang demikian ini tidak mempunyai daya tarik dan tidak menyenangkan, karena nilai kemanusiaan telah diabaikan. Puisi ini benar-benar mampu membuka mata kita terhadap aspek lain akan pelacuran. Selain itu sepertinya puisi ini juga bermaksud untuk mendukung para pelaku prostitusi untuk menata hidup mereka, dengan tentunya dibantu oleh pemerintah. Pemerintah jangan hanya bisa razia tanpa memberi solusi bagi demoralisasi sosial karena merupakan tanggung jawab bersama.




Lampiran

Sajak W.S. Rendra
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta

Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Dari kelas tinggi dan kelas rendah
Telah diganyang
Telah haru-biru
Mereka kecut
Keder
Terhina dan tersipu-sipu

Sesalkan mana yang mesti kausesalkan
Tapi jangan kau lewat putus asa
Dan kaurelakan dirimu dibikin korban

Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta
Sekarang bangkitlah
Sanggul kembali rambutmu
Karena setelah menyesal
Datanglah kini giliranmu
Bukan untuk membela diri melulu
Tapi untuk lancarkan serangan
Karena
Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
Tapi jangan kaurela dibikin korban

Sarinah
Katakan kepada mereka
Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri
Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu
Tentang perjuangan nusa bangsa
Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
Ia sebut kau inspirasi revolusi
Sambil ia buka kutangmu

Dan kau Dasima
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai disampingmu
Ototnya keburu tak berdaya


Politisi dan pegawai tinggi
Adalah caluk yang rapi
Kongres-kongres dan konferensi
Tak pernah berjalan tanpa kalian
Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’
Lantaran kelaparan yang menakutkan
Kemiskinan yang mengekang
Dan telah lama sia-sia cari kerja
Ijazah sekolah tanpa guna
Para kepala jawatan
Akan membuka kesempatan
Kalau kau membuka kesempatan
Kalau kau membuka paha
Sedang diluar pemerintahan
Perusahaan-perusahaan macet
Lapangan kerja tak ada
Revolusi para pemimpin
Adalah revolusi dewa-dewa
Mereka berjuang untuk syurga
Dan tidak untuk bumi
Revolusi dewa-dewa
Tak pernah menghasilkan
Lebih banyak lapangan kerja
Bagi rakyatnya
Kalian adalah sebahagian kaum penganggur yang mereka ciptakan
Namun
Sesalkan mana yang kau kausesalkan
Tapi jangan kau lewat putus asa
Dan kau rela dibikin korban
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Berhentilah tersipu-sipu
Ketika kubaca di koran
Bagaimana badut-badut mengganyang kalian
Menuduh kalian sumber bencana negara
Aku jadi murka
Kalian adalah temanku
Ini tak bisa dibiarkan
Astaga
Mulut-mulut badut
Mulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan

Saudari-saudariku
Membubarkan kalian
Tidak semudah membubarkan partai politik
Mereka harus beri kalian kerja
Mereka harus pulihkan darjat kalian
Mereka harus ikut memikul kesalahan


Saudari-saudariku. Bersatulah
Ambillah galah
Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya
Araklah keliling kota
Sebagai panji yang telah mereka nodai
Kinilah giliranmu menuntut
Katakanlah kepada mereka
Menganjurkan mengganyang pelacuran
Tanpa menganjurkan
Mengahwini para bekas pelacur
Adalah omong kosong

Pelacur-pelacur kota Jakarta
Saudari-saudariku
Jangan melulur keder pada lelaki
Dengan mudah
Kalian bisa telanjangi kaum palsu
Naikkan tarifmu dua kali
Dan mereka akan klabakan
Mogoklah satu bulan
Dan mereka akan puyeng
Lalu mereka akan berzina

Dengan isteri saudaranya.