TIDAK
DI NEGERI ANTAH BERANTAH
Begitu banyak macam realitas kehidupan yang tertoreh dalam
bentuk karya sastra. Ketika menemukan peristiwa yang memilukan, pengalaman yang
menggelitik, kejadian nan unik atau eksentrik, dan hal-hal baru yang menggigit,
pengarang mengeksplorasi semuanya itu dalam bentuk karya sastra.
Cerpen Tangisan
Anakku merupakan hasil karya sastra yang mengabstraksikan realitas
kehidupan masyarakat. Soim Anwar sebagai pengarang cerpen ini menggugah pembaca
dengan menampilkan problema kehidupan seorang pria yang bernama Huki,
berpredikat sebagai kepala perkantoran yang bekerja di sebuah lembaga instansi
negara, akan tetapi karena proses dalam menggapai itu semua dengan jalan yang bisa
dibilang curang dan instan maka karir Huki berakhir suram dan pada akhirnya
membuat pria dari tiga anak tersebut mengalami gangguan kejiwaan.
Siapapun orangnya setelah menempuh sekian tahun pelajaran
di sekolah pasti sangat mendambakan lulus ujian nasional (UN). Banyak usaha dan
upaya yang dilakukan agar dapat lulus ujian nasional ini, dari cara-cara yang
baik yaitu dengan belajar sungguh-sungguh sampai menggunakan cara yang tidak
terpuji seperti membocorkan soal - soal yang akan keluar dalam ujian nasional
tersebut. Semua itu dilakukan tidak lain agar dapat lulus dalam ujian nasional,
syukur-syukur dapat lulus dengan hasil yang memuaskan.
Sebagai contoh, cerpen Tangisan
Anakku karya Shoim Anwar. Bagaimana penyair ini memotret sitem pendidikan
di negara ini yang semakin memprihatinkan. Dalam hal inilah “Tangisan Anakku” memperlihatkan
orisinalitasnya yang khas dari gagasan penyairnya.
Perhatikan kutipan berikut.
“Huki,
kamu kan siswa paling malas. Pingin lulus, kan?” tanya pak Dar, kepala sekolah
kami.
“Ya,
Pak,” aku mengangguk.
“Nah,
perhatikan untuk semuanya. Jangan sampai ketahuan orang luar. Jaga, ya?”
“Bereeees,”
kami serentak koor.......(Shoim Anwar, 2009: 102)”
Dari kutipan di atas dijelaskan bagaimana sikap kepala
sekolah yang berniat meluluskan semua siswa baik yang pintar dan malas dengan
cara curang. Sistem pendidikan saat ini seperti lingkaran setan, jika ada yang
mengatakan bahwa tidak perlu UN karena yang mengetahui karakteristik siswa di
sekolah adalah guru, pernyataan tersebut betul sekali, namun pada kenyataan
dilapangan, sering kali dilihat dari nilai raport yang dimanipulasi, jarang
bahkan mungkin tidak ada guru yang tidak memanipulasi nilainya dengan berbagai
macam alasan, kasihan siswanya, supaya terlihat guru tersebut berhasil dalam
mengajar.
Perhatikan kutipan berikut.
“Soal
ujian, yang para pembuatnya harus dikarantina, soal disiman di kantor polisi
dan dijaga ketat, pihak sekolah ketika mengambil dan menyetor harus dikawal
polisi, ternyata tidak bemakna apa-apa. Aku dapat lulus dengan mudah berkat
cara-cara di atas. Aku tak ingin kuliah, tapi aku ingin cari cepat bekerja agar
dapat bayaran. Dengan bekal ijazah sekolah atas itulah aku daftar tes pegawai
negeri.....(Shoim Anwar, 2009: 103)”
Dari kutipan di atas dijelaskan begitu banyak pilihan
yang bisa dilakukan oleh seorang siswa,
terlepas apakah orang tua bisa mengerti ataupun tidak keinginan putra-putirnya.
Tidak besekolah memag keputusan yang sangat berat, berbagai macam keberatan
akan muncul, bagaimana dengan diskuis, bagaimana dengan penyamaan persepsi
terhadap suatu permasalahan, jika tidak bersekolah, bagaimana dapat menemukan
lingkungan yang kondusif untuk belajar, atau yang lebih umum, karena bangsa
kita adalah bangsa yang gila gengsi dan gelar, bagaimana dengan pekerjaan, jika
tidak punya gelar. Poin inilah yang paling menjanjikan, sekolah hanya untuk
mencari gelar??.
Masa sekolah dan perguruan tinggi
terlewati dengan mudah, Huki pun lolos tes uji dan diterima sebagai pegawai
negeri. Berbekal ijazah yang didapat hanya kurang dari dua tahun, Huki kini bisa menikmati kariernya
sebagai pegawai pemerintah, hari-hari yang dilalui begitu santai, seakan tanpa
beban namun gaji terus mengalir.
Perhatikan kutipan berikut.
“Terus
terang, prestasi kerja di kantor memang tak ada peningkatan dan hanya
rutinitas. Aku mengalami dan merasakan karena aku juga pelakunya. Para
personilnya banyak mengantongi gelar baru yang lebih tinggi, tapi ilmu dan
sikap mereka tambah merosot kerena gelar itu diperoleh dengan cara instan.
Mereka, aku juga, minta jabatab dan tunjangan-tunjangan lebih banyak karena
punya gelar baru. Dari uang rakyat, negara harus mengeluarkan biaya lebih
banyak lagi bagi birokrat yang modelnya kayak gini. Tapi apa boleh buat. Toh
mereka yang di atas juga memberi contoh demikian .....(Shoim Anwar, 2009:
106)””
Dari kutipan di atas dijelaskan
bagaimana aktifitas pegawai negeri yang tiap hari hanya mengobrol dari lorong-lorong
ketawa ketiwi, tidak ada beban pekerjaan, sambil menunggu proyek turunan. Cara
mencari duit mereka salah satunya dengan menaikkan gelar, perjalanan dinas
fiktif, dari sliip atau invoice hotel, tiket pesawat, tiket boarding pass,
semua bisa dipalsukan alias kalau perjalanan dinas kalau tidak berangkat malah
mendapat duit. Kita bisa lihat di kantor-kantor kelurahan dan kecamatan,
pelayanan masyarakat hanya isapan jempol belaka, pukul 10-11 masih pada kosong.
Di tempat dinas yang lain, pegawai juga hanya datang absesn langsung pulang dan
sore datang lagi untuk absen saja. Jadi untuk apa mereka menjalani itu semua,
mengejar prestasi..?? Ironi sekali negara ini.
1 comments:
Bagus...
Post a Comment
gunakan kata-kata yang baik, dan dilarang SPAM. terima kasih.. ^^