Kritik dan Esai Sastra - Cerpen Kembali Makan Gaplek karya Shoim Anwar

Begitu banyak macam realitas kehidupan yang tertoreh dalam bentuk karya sastra. Ketika menemukan peristiwa yang memilukan, pengalaman yang menggelitik, kejadian nan unik atau eksentrik, dan hal-hal baru yang menggigit, pengarang mengeksplorasi semuanya itu dalam bentuk karya sastra.
Cerpen Kembali Makan Gaplek merupakan hasil karya sastra yang mengabstraksikan realitas kehidupan masyarakat. Soim Anwar sebagai pengarang cerpen ini menggugah pembaca dengan menampilkan problema di tengah masyarakat desa yang dulunya makmur menjadi melarat karena mengalami kerugian dan kelaparan ketika lahan mereka digusur dan semua tanaman cengkeh mereka ditebangi. Hal itu dapat tergambar dalam kutipan berikut.

 “Padahal, desa ini dulu sangat rindang dan sejuk. Aneh, di mana-mana dianjurkan untuk menanam pohon, namun pohon cengkeh yang ditanam dengan ongkos sangat mahal malah disuruh menebang.......(Shoim Anwar, 2009: 170)”

            Dari kutipan dijelaskan bagaimana penderitaan yang dialami petani cengkeh waktu itu, sejak penebangan yang kian hari semakin gencar dilakukan membuat harga cengkeh anjlok, dan yang lebih mengenaskan hal itu membuat produktivitas petani semakin menurun, para petani yang tiap harinya mampu mencukupi kehidupan dengan membeli beras dari hasil cengkeh yang dijual kini sudah tidak bisa lagi.
            Cengkeh adalah tanaman asli Indonesia, banyak digunakan sebagai bumbu masakan pedas di negara-negara Eropa, dan sebagai bahan utama rokok kretek khas Indonesia. Sebelum ditebang nilai jual harga cengkeh cukup tinggi. Hal itu yang membuat para petani di desa ini berusaha dengan berbagai cara agar tanaman cengkeh mereka dapat terjaga dari para penebang, seperti yang dilakukan Turno pada kutipan berikut.
           
                        “Handoyo, kau jangan merusak tanamanku!” aku menyentaknya.
“Aku melakukan ini atas nama KUD,” katanya. “Ini perintah Pak Lurah!”
“Bilang sama Pak Lurah kalau tidak boleh. KUD mestinya harus menciptakan kesejahteraan warga, tidak malah menjadi makelar yang tidak berpihak pada rakyat. KUD kau jadikan perpanjangan tangan para cukong. Betapa rendah KUD!”
“Ini program BPPC dari pemerintah pusat”
“Siapa yang di pusat”
”Bapak presiden!”
“Kami tak pernah diberinya makan! Kini malah mau merebut makanan kami! .......(Shoim Anwar, 2009: 171)”

            Dari kutipan dijelaskan upaya Turno untuk mempertahankan tanaman cengkeh miliknya, betapa tidak itu adalah bibit tanaman cengkeh yang tersisa dari kesekian tanaman cengkeh yang telah ditebang dengan paksa hanya demi memenuhi perintah dari program pemerintah yang justru menyengsarakan penduduk desa sekitar.
Keperdulian seorang petani cengkeh seperti Turno  terhadap petani cengkeh di desa itu perlu memperoleh apresiasi, karena secara nyata tidak hanya meraih keuntungan belaka. Namun juga memberikan sebagian keperdulian dari perjuangan para petani cengkeh waktu itu. Dari kesekian penduduk desa, hanya Turno lah yang berani melawan akan penebangan tanaman cengkeh secara paksa, sementara penduduk lain hanya pasrah melihat tanaman dan lahan mereka digusur, seperti kutipan berikut.

   “Orang-orang itu ikut transmigrasi karena putus asa, di sini sudah tak ada lagi yang diandalkan. Tiga puluh keluarga sudah berangkat ke luar Jawa. Yang lain akan menyusul. Saya yakin pelarian itu bukan jalan terbaik. Kita harus tetap di sini.......(Shoim Anwar, 2009: 168)”

            Dari kutipan di atas dijelaskan bagaimana sulitnya mencari lahan yang bisa digunakan untuk tempat tinggal dan bekerja, penyelenggaraan program transmigrasi semasa pemerintah Orde Lama maupun zaman Orde Baru semata-mata hanya sebagai upaya pemerataan penyebaran penduduk. Jauh dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kawasan transmigrasi disediakan alakadarnya dengan fasilitas dan prasarana yang jauh memadai, jauh di tengah belantara dengan infrastruktur dan transportasi yang sangat minim. Hal itulah yang membuat Turno urung mengikuti jejak para penduduk desa untuk berangkat transmigrasi ke Kalimantan, Truno memilih untuk tetap tinggal di desa yang telah membesarkannya dari hasil tanaman cengkeh yang didapat. Seperti dalam kutipan berikut.
           
   “Maaf, Pak, saya Cuma mengatakan bahwa transmigrasi bukan jalan keluar yang terbaik. Kita mesti membangun ekonomi desa ini dari nol lagi, Pak. Bukan malah keluar Jawa. Kami sudah dua kali jadi korban, Pak. .......(Shoim Anwar, 2009: 174)”

            Dari kutipan berikut dijelaskan bagaimana apa yang telah dijelaskan Turno kepada Kepala Desa patut kita acungi jempol, Saatnya bagi pemerintah merevisi ulang program transmigrasi. Penerapan program re-focusing dapat dipertajam tidak hanya meningkatkan kualitas pemukiman yang dititikberatkan pada peningkatan sarana dan prasarana transportasi, penerangan dan perekonomian masyarakat.
Tetapi lebih dari pada itu, pemerintah dapat mendorong, menstimulasi, memfasilitasi para transmigran sehingga mampu menjadi pelaku usaha yang mumpuni disektor pertanian, perkebunan atau peternakan. Dengan kata lain menjadi transmigran yang juga entrepreneur (transpreneur).
Dari kesekian kalinya Turno menjelaskan, tak ada satupun pernyataan yang diterima oleh Kepala Desa, bahkan Turno pun dituduh telah melanggar hukum karena atas perbuatannya menanam cengkeh dan menghambat berjalannya program pemerintah. Sebagai rakyat miskin biasa, tak ada yang bisa dilakukannya kecuali menurut apa kata atasan.
Semoga apa yang jadi harapan Turno di atas dapat didengar aspirasinya dan bermanfaat untuk para petani cengkeh saat itu sehingga rakyat khususnya yang kesehariannya bergantung pada hasil cengkeh bisa sejahtera di masa mendatang, semoga.

0 comments:

Post a Comment

gunakan kata-kata yang baik, dan dilarang SPAM. terima kasih.. ^^