Kritik dan Esai Sastra - Cerpen Burung Gagak di atas Orchard Road

Kelebihan dan Kekurangan Cerpen

Kelebihan dalam cerpen yang pertama adalah ceritanya bagus, dari awal hingga akhir pembaca seakan larut dalam cerita karena selalu dibuat penasaran seolah kejadian yang ada di cerita tersebut dialaminya. Dengan alur maju mundur atau campuran, pengarang seakan mengajak pembaca untuk bereksplorasi dan berpikir kembali dengan mengaitkan kejadian-kejadian di setiap paragraf.
            Kelebihan yang lainnya adalah, bahasa yang digunakan pengarang bagus, lugas dan jelas sehingga mudah dimengerti oleh pembaca. Dan sepengetahuan saya pengarang adalah seorang cerpenis yang sudah malah melintang selama puluhan tahun dengan sederet karya yang mengundang dercak kagum, salah satunya adalah kumpulan cerpen dalam judul “Asap Rokok Di Jilbab Santi”.
Kekurangan pertama, di dalam isi cerpen tidak disebutkan nama tokoh utama, yakni yang berperan sebagai pembunuh bayaran, serta tidak dijelaskan pula motif pelaku dalam menjalankan tugas yang bergaji besar tersebut. Mungkin hal tersebut sengaja dilakukan oleh pengarang karena pengarang tidak ingin salah paham terjadi apabila sebuah nama baik pelaku utama maupun pihak terkait.
Hal lain yang membuat pembaca sempat bertanya adalah, untuk apa dan dengan tujuan apa seseorang yang juga tak disebutkan namanya berani membayar seseorang guna membunuh orang lain, entah karena balas dendam, bisnis, ataupun kekuasaan. Karena dalam cerita sempat dijelaskan korban pembunuhan bekerja di instansi pemerintah. Dan juga kalaupun seorang berani dibayar untuk melakukan tindak kejahatan dan disebut pembunuh kelas kakap, harusnya ia bekerja sendirian, karena dengan begitu ia bisa lebih mudah losos dan tanpa meninggalkan jejak, karena kita tahu tidak semua orang mau diajak bekerja sama dalam hal kejahatan kelas atas apalagi partner tersebut belum pernah melakukannya sekalipun, ini sama halnya tidak profesional.
            Dan yang terakhir, jenis cerita seperti ini sudah umum dan sering dibaca oleh semua pihak, bahkan anak-anak yang gemar nonton film detektif dan superhero juga tak akan kaget dan kemungkinan besar mereka sudah bisa paham jalan cerita walaupun membaca cerita ini sekali.

Kritik dan Esai Sastra - Cerpen Kembali Makan Gaplek karya Shoim Anwar

Begitu banyak macam realitas kehidupan yang tertoreh dalam bentuk karya sastra. Ketika menemukan peristiwa yang memilukan, pengalaman yang menggelitik, kejadian nan unik atau eksentrik, dan hal-hal baru yang menggigit, pengarang mengeksplorasi semuanya itu dalam bentuk karya sastra.
Cerpen Kembali Makan Gaplek merupakan hasil karya sastra yang mengabstraksikan realitas kehidupan masyarakat. Soim Anwar sebagai pengarang cerpen ini menggugah pembaca dengan menampilkan problema di tengah masyarakat desa yang dulunya makmur menjadi melarat karena mengalami kerugian dan kelaparan ketika lahan mereka digusur dan semua tanaman cengkeh mereka ditebangi. Hal itu dapat tergambar dalam kutipan berikut.

 “Padahal, desa ini dulu sangat rindang dan sejuk. Aneh, di mana-mana dianjurkan untuk menanam pohon, namun pohon cengkeh yang ditanam dengan ongkos sangat mahal malah disuruh menebang.......(Shoim Anwar, 2009: 170)”

            Dari kutipan dijelaskan bagaimana penderitaan yang dialami petani cengkeh waktu itu, sejak penebangan yang kian hari semakin gencar dilakukan membuat harga cengkeh anjlok, dan yang lebih mengenaskan hal itu membuat produktivitas petani semakin menurun, para petani yang tiap harinya mampu mencukupi kehidupan dengan membeli beras dari hasil cengkeh yang dijual kini sudah tidak bisa lagi.
            Cengkeh adalah tanaman asli Indonesia, banyak digunakan sebagai bumbu masakan pedas di negara-negara Eropa, dan sebagai bahan utama rokok kretek khas Indonesia. Sebelum ditebang nilai jual harga cengkeh cukup tinggi. Hal itu yang membuat para petani di desa ini berusaha dengan berbagai cara agar tanaman cengkeh mereka dapat terjaga dari para penebang, seperti yang dilakukan Turno pada kutipan berikut.
           
                        “Handoyo, kau jangan merusak tanamanku!” aku menyentaknya.
“Aku melakukan ini atas nama KUD,” katanya. “Ini perintah Pak Lurah!”
“Bilang sama Pak Lurah kalau tidak boleh. KUD mestinya harus menciptakan kesejahteraan warga, tidak malah menjadi makelar yang tidak berpihak pada rakyat. KUD kau jadikan perpanjangan tangan para cukong. Betapa rendah KUD!”
“Ini program BPPC dari pemerintah pusat”
“Siapa yang di pusat”
”Bapak presiden!”
“Kami tak pernah diberinya makan! Kini malah mau merebut makanan kami! .......(Shoim Anwar, 2009: 171)”

            Dari kutipan dijelaskan upaya Turno untuk mempertahankan tanaman cengkeh miliknya, betapa tidak itu adalah bibit tanaman cengkeh yang tersisa dari kesekian tanaman cengkeh yang telah ditebang dengan paksa hanya demi memenuhi perintah dari program pemerintah yang justru menyengsarakan penduduk desa sekitar.
Keperdulian seorang petani cengkeh seperti Turno  terhadap petani cengkeh di desa itu perlu memperoleh apresiasi, karena secara nyata tidak hanya meraih keuntungan belaka. Namun juga memberikan sebagian keperdulian dari perjuangan para petani cengkeh waktu itu. Dari kesekian penduduk desa, hanya Turno lah yang berani melawan akan penebangan tanaman cengkeh secara paksa, sementara penduduk lain hanya pasrah melihat tanaman dan lahan mereka digusur, seperti kutipan berikut.

   “Orang-orang itu ikut transmigrasi karena putus asa, di sini sudah tak ada lagi yang diandalkan. Tiga puluh keluarga sudah berangkat ke luar Jawa. Yang lain akan menyusul. Saya yakin pelarian itu bukan jalan terbaik. Kita harus tetap di sini.......(Shoim Anwar, 2009: 168)”

            Dari kutipan di atas dijelaskan bagaimana sulitnya mencari lahan yang bisa digunakan untuk tempat tinggal dan bekerja, penyelenggaraan program transmigrasi semasa pemerintah Orde Lama maupun zaman Orde Baru semata-mata hanya sebagai upaya pemerataan penyebaran penduduk. Jauh dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kawasan transmigrasi disediakan alakadarnya dengan fasilitas dan prasarana yang jauh memadai, jauh di tengah belantara dengan infrastruktur dan transportasi yang sangat minim. Hal itulah yang membuat Turno urung mengikuti jejak para penduduk desa untuk berangkat transmigrasi ke Kalimantan, Truno memilih untuk tetap tinggal di desa yang telah membesarkannya dari hasil tanaman cengkeh yang didapat. Seperti dalam kutipan berikut.
           
   “Maaf, Pak, saya Cuma mengatakan bahwa transmigrasi bukan jalan keluar yang terbaik. Kita mesti membangun ekonomi desa ini dari nol lagi, Pak. Bukan malah keluar Jawa. Kami sudah dua kali jadi korban, Pak. .......(Shoim Anwar, 2009: 174)”

            Dari kutipan berikut dijelaskan bagaimana apa yang telah dijelaskan Turno kepada Kepala Desa patut kita acungi jempol, Saatnya bagi pemerintah merevisi ulang program transmigrasi. Penerapan program re-focusing dapat dipertajam tidak hanya meningkatkan kualitas pemukiman yang dititikberatkan pada peningkatan sarana dan prasarana transportasi, penerangan dan perekonomian masyarakat.
Tetapi lebih dari pada itu, pemerintah dapat mendorong, menstimulasi, memfasilitasi para transmigran sehingga mampu menjadi pelaku usaha yang mumpuni disektor pertanian, perkebunan atau peternakan. Dengan kata lain menjadi transmigran yang juga entrepreneur (transpreneur).
Dari kesekian kalinya Turno menjelaskan, tak ada satupun pernyataan yang diterima oleh Kepala Desa, bahkan Turno pun dituduh telah melanggar hukum karena atas perbuatannya menanam cengkeh dan menghambat berjalannya program pemerintah. Sebagai rakyat miskin biasa, tak ada yang bisa dilakukannya kecuali menurut apa kata atasan.
Semoga apa yang jadi harapan Turno di atas dapat didengar aspirasinya dan bermanfaat untuk para petani cengkeh saat itu sehingga rakyat khususnya yang kesehariannya bergantung pada hasil cengkeh bisa sejahtera di masa mendatang, semoga.

Kritik dan Esai Sastra - Cerpen Kyai Jogoloyo karya Shoim Anwar

Karya sastra merupakan potret kehidupan yang menyangkut masalah sosial, politik dalam masyarakat. Persoalan tersebut merupakan tanggapan sastrawan terhadap fenomena sosial beserta kompleksitas permasalahan yang ada di sekitarnya.
            Sebagai sebuah renungan, cerpen Kiai Jogoloyo Karya M. Shoim Anwar mengupas tema ulama yang berpolitik menggambarkan bahwa pilitik dan sastra seakan sudah seperti saudara yang selalu bersama dalam menjalankan kehidupan.
            Ulama adalah orang-orang yang meyakini, membenarkan dan mengamalkan kitab suci melalui ilmu pengetahuan serta menyebarkan kepada masyarakat tanpa pamrih itulah sebabnya ulama sangat dihormati oleh masyarakat. Terlihat pada kutipan berikut.
“Di seberang sungai, orang-orang sudah bersiap menyambut kedatangan sang Kiai. Mereka sudah berbaris sejak satu jam yang lalu. Kabar akan kedatangan Kiai Jogoloyo memang sudah tersiar jauh hari. Maka seluruh jalan kampung yang akan dilalui sang Kiai dibersihkan, pagar-pagar dicat dan bunga-bunga dalam pot dijajar sepanjang jalan. .......(Shoim Anwar, 2009: 210)”

Kutipan di atas menggambarkan bahwa penulis menghormati keberadaan ulama, namun sudah sejak lama ada semacam pemahaman bahkan keyakinan, bahwa ulama harus tetap steril atau jauh dari politik. Seperti tergambar pada kutipan berikut.
“Seharusnya memang begitu,”lurah Harmono menimpali.
“Tapi ini perkaranya lain,” sahut Modin Mudlofar.
“lain gimana,” tarik Kasnadi memotong.
“Kiai Jogoloyo akan hadir.”
Lurah dan Carik terperanjat seperti tak percaya dengan kata-kata yang baru didengar. .......(Shoim Anwar, 2009: 211)”

Dari kutipan di atas menggambarkan bahwa penulis seakan-akan berkeyakinan ulama harus tetap konsisten untuk bergerak dalam tataran pendidikan. Tidak perlu bahkan tidak seharusnya ikut-ikutan berpolitik apalagi sekadar dalam pertarungan perebutan kekuasaaan.
            Ketika ulama secara pribadi mulai bersentuhan dengan ranah politik, tentunya bukan berita yang mengecawakan, sebab bagaimanapun politik sebetulnya adalah bagian dari Islam. Bukankah Nabi Muhammad S.A.W. adalah seorang politisi?
            Sebagaimana dicatat oleh para ulama dan sejarahwan, selama hidupnya di Madinah Rosulullah S.A.W. sekaligus juga kepala negara. Para sabahatnya yang terdekat Abu Bakar Ash-Shidiq, Ali bin Abi Thalib, semuanya pernah menjabat sebagai khalifah yang terkenal dengan sebutan Khilafaur Rasyidin.
            Namun, di sisi lain, terdapat ulama yang dalam menjalankan aktivitas politiknya tidak jarang mengabaikan nilai-nilai Islam. Itulah yang tergambar pada cerpen Kiai Jogoloyo ini. Penulis menggambarkan sisi yang berbeda. Ulama berpolitik bukan dilandasi syariat Islam, tetapi lebih diniatkan untuk mencapai kepentingan sesaat, sehingga pada akhir cerita, tertulis.
                           “Esok paginya, di halaman depan koran tertulis judul berita utama: Politikus Partai Kecemplung Kali. .......(Shoim Anwar, 2009: 218)”

            Dari uraian di atas, kiranya kita tidak meruncingkan pertentangan ulama yang berpolitik. Sering dikatakan bahwa politisi adalah “profesi kotor” dan Kiai adalah “profesi putih”. Amat kontras. Masalahnya ialah apakah yang putih akan bisa membersihkan yang kotor atau sebaliknya? Atau lebih banyak mana bidang putihnya ketimbang bidang hitam? Mempertimbangkan pertanyaan di atas, yang ideal memang Kiai tidak berpolitik praktis, atau sedikit yang terlibat akan lebih baik.

Kritik dan Esai Sastra - Cerpen Paket Mayat karya Shoim Anwar

Begitu banyak macam realitas kehidupan yang tertoreh dalam bentuk karya sastra. Ketika menemukan peristiwa yang memilukan, pengalaman yang menggelitik, kejadian nan unik atau eksentrik, dan hal-hal baru yang menggigit, pengarang mengeksplorasi semuanya itu dalam bentuk karya sastra.
Cerpen Paket Mayat merupakan hasil karya sastra yang mengabstraksikan realitas kehidupan masyarakat. Soim Anwar sebagai pengarang cerpen ini menggugah pembaca dengan menampilkan problema kehidupan seorang pria yang bernama Suparjan, berpredikat sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang bekerja di Malaysia, akan tetapi karena keberangkatannya tanpa melalui prosedur yang benar, hanya berbekal Paspor atau bahkan Tanpa Paspor sama sekali  alias masuk ke negara lain secara gelap Suparjan termasuk TKI ilegal.
Menjadi TKI illegal besar sekali resikonya. Sejak masih di rumah, resiko itu sudah biasa terjadi. Apalagi di sepanjang perjalanan dan di negara tempatnya bekerja. Resiko-resiko yang biasa terjadi antara lain ditangkap, dianiaya, hingga dibunuh. Hal itu dapat tergambar dalam kutipan berikut.

Tahu-tahu Suparjan sudah berada di luar Negeri dan meneleponku.
Aku kaget
“Aku ditangkap Polisi,” katanya
“Di mana?”
“Kuantan.”
“Terus?”
“Minta tebusan. Kakak disuruh ke sini, nanti bisa dilepas.”
“Kamu ngomong kalau punya saudara di sini?”
“Ya.”
“Makanya........(Shoim Anwar, 2009: 150)”

            Dari kutipan di atas dijelaskan bagaimana besarnya resiko menjadi TKI ilegal, hanya berbekal tekad tanpa dilengkapi surat resmi ijin kerja dari dalam Negeri mereka akan menjadi sasaran empuk polisi di sana yang sedang beroperasi, terlebih Malaysia telah meningkatkan keamanannya di wilayah perairan akhir-akhir ini. Kita tahu bahwa administrasi menjadi TKI sangat rumit karena melibatkan dua negara, modal yang dibutuhkan juga tak sedikit. Disinilah para oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan hal ini.
Resiko lain yang akan dihadapi sebagai seorang TKI adalah penipuan, mulai dari administrasi, pekerjaan, hingga gaji bulanan. Seperti kutipan berikut.

“Proyek hanya memberinya makan. Pengawas kerja yang mempekejakannya menghilang saat gajian. Taute, sang pemilik proyek, selalu mengatakan bahwa dia sudah membayar uang para pekerja lewat bagian administrasi alias kerani. Sementara kerani mengatakan bahwa uang itu sudah diserahkan kepada pengawas kerja. Atau mereka memang bersekongkol? .......(Shoim Anwar, 2009: 152)”

            Dari kutipan di atas dijelaskan bagaimana nasib Suparjan menjadi korban penipuan oleh pemilik proyek ketika sudah menjadi TKI dan bekerja di Negera Malaysia. Suparjan yang setiap harinya bekerja sebagai kuli di sebuah poyek bangunan mendapat perlakuan tidak adil meskipun oleh sesama temannya sendiri yang berasal dari negara tempat tinggal mereka. Namun apa boleh buat demi mengharap uang dan sesuap nasi semua itu dikerjakaanya sepenuh hati.
Selain apa yang di dialami Suparjan masih banyak sekali kisah tragis para TKI ilegal yang sudah menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan, beberapa dari mereka ada yang dipaksa bekerja kordi tanpa henti, dianiaya, ditelantarkan, diperkosa, hingga dibunuh. Seperti kutipan berikut.
“Hati-hatilah kalau kerja. Apalagi di Negeri orang.”
“jenazah para korban itu dimakamkan di mana?”
tanya Suparjan.
“Ada yang dibawa pulang. Ada juga yang di sini. Yang susah kan kalau korbannya pekerja liar. Tak ada yang ngurus.......(Shoim Anwar, 2009: 154)”

            Dari kutipan di atas dijelaskan bagaimana nasib TKI ilegal di luar Negeri yang selalu direndahkan, ditambah aturan hukum yang tinggi dan polisi yang dikenal beringas dengan biasa menelantarkan mereka bahkan tak segan-segan membunuh dengan cara kejam. Sementara di dalam Negeri sendiri pemerintah seakan-akan hanya ngedumel, pemerintah Indonesia dalam setiap penanganan kasus seperti ini hanya bisa protes, mengecam dan prihatin, setelah itu habislah perkara. Seperti yang sudah-sudah kasus itulah fakta.
            Profesi sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau sebutan bagi orang indonesia yang bekerja di luar Negeri bukanlah profesi yang didambakan setiap orang. Bahkan banyak yang memandang negatif kepada mereka. Tetapi dilihat dari jumlah TKI yang bekerja di luar negara saat ini jelas menunjukan bahwa profesi sebagai TKI masih sangat diminati sebagian rakyat indonesia yang berfikiran maju tetapi tidak mendapatkan kesempatan bekerja di negara sendiri.            Mendapatkan gaji besar, tuntutan ekonomi, impian membangun rumah sendiri, serta pendidikan tinggi menjadi alasan bagi sebagian orang menjadi TKI. Seperti tergambar dalam kutipan berikut.

                        “Dulu katanya istrimu melarang ke sini?”
                        “Gimana lagi? Di rumah nggak ada pekerjaan. Sawah sudah dijual.”
                        “Untuk apa?”
“Ya untuk sangu berangkat saya ke sini ini......(Shoim Anwar, 2009: 152)”

            Dari kutipan di atas dijelaskan bagaimana faktor ekonomi lah yang membuat Suparjan nekad pergi ke luar Negeri untuk menjadi TKI. Namun meskipun menjadi TKI bukan keinginan melainkan piliihan mereka, tetap saja para TKI seperti Suparjan menjadi aset dan omset yang besar bagi Negara ini, TKi memang tidak bisa dihentikan karena di Negara mereka sendiri belum tentu mereka bisa mendapatkan penghasilan dengan skill dan kemampuan yang pas-pasan itu, namun hendaknya, Indonesia membuka lowongan pekerjaan untuk mereka-mereka yang merasa terhimpit dalam perekonomian dan sedikit mengurangi resiko bagi mereka yang telah menjadi TKI.